Pemerintah Kota Pontianak menunjukkan keseriusannya dalam memerangi penyakit Tuberkulosis (TBC) dengan langkah-langkah nyata yang mulai membuahkan hasil. Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menyampaikan bahwa upaya yang dilakukan selama ini telah membuahkan penurunan kasus yang cukup signifikan.
Menurut data Dinas Kesehatan Kota Pontianak, jumlah kasus TBC pada tahun 2024 tercatat sebanyak 1.838 kasus, turun drastis dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 2.435 kasus. “Penurunan ini menjadi indikator bahwa strategi kita berjalan efektif. Tingkat keberhasilan pengobatan pun cukup tinggi, mencapai 91,18 persen,” ujar Edi usai menghadiri rapat bersama Tim Panja Pengawasan Percepatan Eliminasi TBC Komisi IX DPR RI di Balai Petitih, Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (22/5/2025).
Pemkot juga tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait Percepatan Penanggulangan TBC yang digagas DPRD Kota Pontianak. Diharapkan, regulasi ini mampu mempercepat penanganan TBC secara lebih terstruktur dan menyeluruh. Raperda ini juga merupakan bagian dari program 100 hari kerja Wali Kota Edi di masa jabatan keduanya.
“Langkah ini penting, mengingat Indonesia masih menjadi negara dengan kasus TBC terbanyak kedua di dunia setelah India, berdasarkan data WHO,” tambahnya.
Sebagai bagian dari upaya pencegahan, Pemkot juga mendorong pembentukan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang lebih komprehensif. Raperda ini akan mencakup area publik seperti tempat wisata, taman kota, fasilitas olahraga, tempat hiburan, terminal, pelabuhan, hingga bandara. Selain itu, rokok elektrik kini juga masuk dalam cakupan regulasi baru ini.
“Dalam Raperda yang baru, ada ketentuan terkait sanksi berupa denda yang hasilnya akan masuk ke kas daerah. Ini merupakan bentuk penegakan hukum yang lebih tegas, karena Perda lama tidak lagi relevan dengan aturan nasional yang terbaru,” jelas Wali Kota.
Sementara itu, Ketua Tim Panja dari Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, mengungkapkan kunjungan ke Kalimantan Barat dilakukan untuk memantau langsung penanganan TBC di wilayah ini. Ia menyebut Kalbar bukan termasuk wilayah dengan angka TBC tertinggi, namun memiliki tantangan tersendiri, terutama terkait kondisi geografis yang luas dan terpencar.
Dalam rapat tersebut, Tim Panja menerima laporan bahwa fasilitas diagnosis TBC seperti alat Tes Cepat Molekuler (TCM) dan X-ray masih sangat terbatas. “Hingga kini, baru tersedia satu alat TCM di tingkat kabupaten. Hal ini tentu menyulitkan dalam mendeteksi secara akurat jumlah kasus TBC,” ujar Nihayatul.
Ia juga menyoroti pentingnya pendampingan terhadap pasien TBC yang menjalani pengobatan jangka panjang, minimal enam bulan. Menurutnya, deteksi dini dan pendampingan di tingkat puskesmas sangat penting agar pengobatan berjalan maksimal.
“Banyak pasien baru diketahui mengidap TBC saat sudah masuk rumah sakit. Idealnya, setelah diagnosis awal, pasien diarahkan ke puskesmas untuk pemantauan lanjutan,” jelasnya.
Tim Panja juga mendorong Kalbar untuk segera mengusulkan pembangunan laboratorium TBC sendiri. Pasalnya, saat ini sampel masih harus dikirim ke RS dr Soetomo Surabaya untuk pemeriksaan lanjutan, yang tentu membutuhkan waktu dan biaya lebih.
Sumber : Prokopim
Publisher : Meirina Elisabeth Br Sebayang
Tidak ada komentar
Posting Komentar