Pagi itu, suasana Car Free Day (CFD) di depan Ayani Megamal, Pontianak, tak hanya dipenuhi warga yang jogging atau bersepeda. Di satu sudut yang dikerumuni banyak orang, suasana tampak berbeda lebih riuh, lebih penasaran. Di tengah kerumunan, seorang perempuan muda tampak menahan napas saat seekor ular python albino melingkar manja di lehernya.

Namanya Syifa, 21 tahun. Awalnya ia hanya berniat melihat-lihat, tapi dorongan rasa penasaran dan keberanian yang tumbuh perlahan membuatnya memutuskan untuk mencoba pengalaman yang tak biasa itu.

“Saya sebenarnya takut dengan ular,” katanya sambil tertawa kecil usai berpose dengan hewan reptil di area CFD, Minggu (15/6/2025) pagi.

“Tapi lihat orang lain bisa, saya pun ingin mencobanya,” lanjutnya.

Syifa akhirnya tersenyum lega setelah beberapa pose dengan ular albino. Tangan yang semula gemetar kini bisa lebih tenang. Ia mengusap lehernya yang masih terasa hangat dari tubuh ular yang tadi melingkar di sana.

“Saya enggak nyangka bisa seberani ini. Ternyata menyentuh ular itu rasanya unik, antara takut tapi penasaran ingin menyentuh kulitnya,” imbuhnya.

Syifa bukan satu-satunya yang datang pagi itu untuk bertemu langsung dengan satwa-satwa yang selama ini hanya bisa dilihat di layar kaca. Di balik kehadiran para hewan eksotis itu, ada sebuah komunitas yang konsisten mengedukasi dan menghibur masyarakat, Independent Exotic Pets atau IEP.

Komunitas ini rutin hadir setiap akhir pekan, berpindah dari CFD pagi hari ke Bundaran Digulis Untan pada sore harinya. Reptil seperti iguana, kadal gurun (bearded dragon), hingga kura-kura jinak ikut serta. Tidak ketinggalan sugar glider yang mungil dan burung hantu yang diam mematung, seolah mengamati keramaian dengan tatapan tajamnya.

Zulfani, sosok di balik berdirinya IEP, menyebut komunitas ini lahir dari kerinduan para pecinta hewan eksotis yang sempat terhenti berkegiatan selama masa pandemi. Ia menyatukan beberapa komunitas kecil—pecinta ular, musang, burung, hingga reptil lainnya—dalam satu wadah yang lebih inklusif dan edukatif.

“Setelah pandemi, kegiatan komunitas sempat terhenti. Nah, kami ingin kembali memperkenalkan hewan-hewan ini, bahwa mereka bukan untuk ditakuti, tapi bisa kita pahami dan rawat,” ujarnya.

IEP bukan sekadar ajang pamer hewan unik. Ada misi edukasi yang kuat di balik setiap pertemuan dengan masyarakat. Zulfani dan rekan-rekannya ingin menanamkan kesadaran bahwa hewan-hewan eksotis pun bisa hidup berdampingan dengan manusia.

“Banyak orang langsung berpikir hewan-hewan ini berbahaya. Padahal, kalau dipelajari dan dipahami, mereka bisa jadi sahabat juga,” jelas Zulfani.

“Mereka juga ciptaan Tuhan, bukan untuk dibunuh hanya karena bentuknya menakutkan,” sambungnya.

Anak-anak adalah penonton favorit bagi komunitas ini. Mereka datang dengan mata membulat, kadang menjerit kecil, kadang penuh tanya. Untuk itu, IEP juga rutin hadir ke sekolah-sekolah dalam program bertajuk IEP Goes to School. Mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah dasar, program ini dirancang agar anak-anak bisa belajar langsung dari interaksi nyata, bukan hanya lewat buku atau tayangan YouTube.

“Dengan kehadiran kami, mereka bisa melihat langsung, bahkan menyentuh hewan-hewan yang biasanya hanya mereka lihat dari layar,” katanya.

Bagi sebagian orang, mungkin hewan-hewan eksotis ini hanyalah hiburan sesaat. Tapi bagi komunitas IEP, setiap pertemuan adalah peluang untuk membuka pikiran, menanamkan empati, dan menunjukkan bahwa dunia ini juga milik mereka makhluk hidup yang berbeda, tapi sama-sama ingin dihargai. (**)